Selasa, 02 Juli 2013

Peran Kartini Modern Memberantas HIV


Peran Kartini  Modern  Memberantas  HIV
oleh: Budi satrio

Walaupun sudah 100  tahun yang lalu  RA Kartini meninggalkan kita (1879 - 1904), tetapi kata ampuh emansipasipasi  perempuan yang beliau dengungkan,  gaungnya masih “Cetar Membahana Terpampang  Nyata” di persada ini.  Siapapun yang mengenal sejarah beliau dan melihat kondisi  persada kini, pasti akan menyatakan bahwa beliau telah berhasil mengangkat harkat dan martabat perempuan.  Dari Selir Mantri  Kesehatan saat itu,  menjadi  Menteri  Kesehatan saat  ini.   Dari tidak ada jabatan dan pekerjaan yang dipegang perempuan saat itu, menjadi tidak ada lagi  jabatan dan pekerjaan  yang belum dipegang  perempuan saat ini.
Untuk lebih menyempurnakan keberhasilan emansipasi  mari  bersama melihat beberapa permasalahan Emasipasi  Kartini modern.    Dominasi dan marginalisasi laki-laki terhadap perempuan  masih terjadi, dengan contoh kasus  penyiksaan  tenaga kerja wanita,  kekerasan dalam rumah tangga/ KDRT,  perdagangan perempuan/traficking, pernikahan anak-anak,  pernikahan sesaat “Aceng”, penolakan pengakuan sebagai bapak biologis, penularan hiv  kepada perempuan sholehah.
Diskriminasi gender  dalam  program penanggulangan HIV misalnya dapat dilihat dari fakta difokuskannya  tindakan represi  terhadap 640 perempuan penjaja seks komersial/ PSK  pengidap virus HIV , misalnya  dengan diterbitkannya Perda Anti Prostitusi, sedangkan  3,1 juta laki-laki dewasa  pengguna jasa seks komersial pengidap Virus HIV tidak tersentuh.  Penjaja Seks Komersial akan membawa penyakitnya sebagai pilihan hidup yang susah antara mati karena kemiskinan  kelaparan dan mati karena HIV.  Laki-laki membeli HIV untuk kebahagiaan sesaatnya, dan membagikan penderitaan  kepada istrinya yang sholehah dan anaknya yang tidak tahu menahu dan tidak berdosa.    
Perempuan ketika masa RA KArtini, bukan tidak tahu pentingnya sekolah tetapi tidak mampu mengatasi dominasi.    Ibu rumah tangga sholehah yang tidak pernah selingkuh dan atau menggunakan narkoba dan tertular dari suaminya, juga bukan tidak tahu bagaimana rantai penularan terjadi, tetapi tidak mampu mengatasi dominasi.  Bahkan sebagian perempuan sholeh modern tahu sebelum menikah bahwa pacarnya laki-laki yang perilakunya beresiko.  Ketidak seimbangan kekuatan  bargaining  sebagai “lawan” dari emansipasi  cukup banyak kasusnya, contoh seperti  perempuan muda yang menyerahkan keperawanannya kepada pacarnya untuk membuktikan cintanya, PSK yg tidak bisa menolak ketika pelanggannya  tidak mau memakai kondom karena butuh uang.
Dampak dari  ketidak berdayaan perempuan dalam penularan HIV adalah, terus meningkat pesatnya kasus hiv pada ibu rumah tangga/ IRT.  Pada periode   Jan-Des 2011, dengan pengelompokan  menurut kelompok pekerjaan maka ditemukan bahwa Ibu rumah tangga menjadi kelompok tertinggi yaitu sebanyak 622 kasus (34%). Ini hal yang sangat mengerikan bagi emansipasi perempuan. Bahkan ibu Menteri kesehatan menyatakan bahwa  ibu rumah tangga yang tertular HIV  dan merupakan korban suami, jumlahnya lebih banyak dibandingkan PSK.
Hal yang memprihatinkan dari terus meningkatnya kasus HIV pada ibu rumah tangga meliputi aspek sosial dan aspek klinis. Dari aspek social pendekatan pemberantasan HIV saat ini, masih fokus kepada orang-orang yang berperilaku beresiko, sehingga ibu rumah tangga yang tidak pernah berperilaku beresiko akan lepas dari perhatian. Sebagai istri perempuan harus melayani suami dengan penuh kepercayaan, kesetiaan, tidak pernah menanyakan bagaimana perilaku suaminya diluar.  Ketika tahu suaminya berperilaku beresikopun sang istri tidak mampu mengajak suaminya memeriksakan ke VCT (klinik HIV), apalagi menolak melayani karena tidak memakai kondom. Tampak jelas disini bahwa masih terjadi ketimpangan gender atau dominasi laki-laki masih mengalahkan emansipasi sampai tingkat terkecil yaitu rumah tangga.  Dampaknya si ibu membiarkan dirinya tertular HIV, dan yang lebih parah membiarkan anaknya terlahir dengan HIV. Data menunjukkan bahwa , sampai dengan Juni 2012 ada 775 kasus AIDS pada balita yang tidak berdosa.  
Aspek klinis yang membedakan HIV pada perempuan dan laki-laki memang tidak perlu diperbesar tetapi faktanya memang ada.  Secara sosiologis perempuan yang tertular HIV dari suaminya, selain harus memelihara dirinya juga harus merawat pasangannya yang nota bene “sumber” penderitaannya dan merawat anaknya yang sama-sama sebagai korban. Secara klinis, pada tahun pertama setelah infeksi,  viral load  pada perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Kandidiasis dan herpes simpleks juga lebih sering pada perempuan dari pada laki-laki. Ingat bahwa secara fisiologis bentuk alat kelamin perempuan yang berlekuk-lekuk  lebih memungkinkan menyimpan microorganisme dari pada laki-laki. 
Bagaimana mengatasi semua? Emansipasi.  Kalo RA. Kartini mendobrak marginalisasi perempuan dalam pendidikan, dan ketimpangan gender dalam karier, maka penaggulangan penyebaran HIV juga bisa dengan Emansipasi.  katakanlah  bahwa  dengan emasipasi maka  kesetaraan gender dalam bidang pendidikan  sudah tercapai, sehingga pengetahuan perempuan dan laki-laki tentang HIv sudah setara, sehingga yang diperlukan adalah keberanian mengambil keputusan.
Ditingkat program pemberantasan HIV, semestinya momentum ini digunakan untuk penyadaran bahwa stigma mulai harus dihilangkan, karena cukup banyak pengidap HIV yang merupakan korban dan tidak pernah sama sekali berperilaku beresiko. 
Pendekatan agama dengan tujuan mengurangi keinginan orang berperilaku beresiko(demand reduction) terus dilakukan dengan intensif karena ini penting.    Pendekatan mengurangi sumber penular (supply reduction) oleh pemerintah dengan pemaksaan (conditioning) dengan penerbitan peraturan perundang-undangan misalnya: Perda Anti Prostitusi, Perda Anti Narkoba, semestinya diikuti dengan kegiatan meningkatan pendapatan (income generating) dan pemberantasan kemiskinan (poverty reduction).
Terakhir pendekatan pemakaian kondom, dan hanya menggunakan satu jarum untuk satu kali pakai  yang merupakan pendekatan klinis dengan tujuan mengurangi resiko penularan langsung (harm/risk reduction) tidak perlu dinilai sebagai upaya mementahkan/ menentang upaya pendekatan agama (demand reduction), dan regulasi mengurangi sumber (supply reduction).  Sebaik apapun program demand reduction dan supply reduction pasti ada celah ketidak sempurnaan, sehingga perlu jaring pengaman dan sweeper dalam bentuk harm/risk  reduction dan selanjutnya kalo tetap terjadi serahkan terapinya pada para klinisi dengan relief dan recovery.
Ditingkat individu yang diperlukan adalah eksekusi oleh perempuan penegak emansipasi, untuk mengajak calon pasangan dengan kalimat manis: “Saya tidak mempermasalahkan masa lalu kamu, tetapi demi kita, saya dan calon anak kita, mari kita periksa sebelum menikah”.  Bagi yang sudah menikah juga sama, hanya ditambah keberanian untuk menolak melayani tanpa kondom sebelum tahu hasilnya negative. Bagi para PSK perlu keberanian memilih sorga atau neraka , baru kemudian sehat atau uang.
Pilihan yang berat bagi perempuan, tetapi pasti bisa, karena RA Kartini telah membuktikannya, dan Perempuan Indonesia adalah pewaris darah pejuang RA Kartini. Selamat merayakan hari Kartini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar