Peran Kartini Modern Memberantas
HIV
oleh: Budi satrio
Walaupun
sudah 100 tahun yang lalu RA Kartini meninggalkan kita (1879 - 1904),
tetapi kata ampuh emansipasipasi
perempuan yang beliau dengungkan,
gaungnya masih “Cetar Membahana Terpampang Nyata” di persada ini. Siapapun yang mengenal sejarah beliau dan
melihat kondisi persada kini, pasti akan
menyatakan bahwa beliau telah berhasil mengangkat harkat dan martabat perempuan. Dari Selir Mantri Kesehatan saat itu, menjadi
Menteri Kesehatan saat ini.
Dari tidak ada jabatan dan pekerjaan yang dipegang perempuan saat itu,
menjadi tidak ada lagi jabatan dan pekerjaan yang belum dipegang perempuan saat ini.
Untuk
lebih menyempurnakan keberhasilan emansipasi
mari bersama melihat beberapa permasalahan
Emasipasi Kartini modern. Dominasi dan marginalisasi laki-laki
terhadap perempuan masih terjadi, dengan
contoh kasus penyiksaan tenaga kerja wanita, kekerasan dalam rumah tangga/ KDRT, perdagangan perempuan/traficking, pernikahan
anak-anak, pernikahan sesaat “Aceng”,
penolakan pengakuan sebagai bapak biologis, penularan hiv kepada perempuan sholehah.
Diskriminasi
gender dalam program penanggulangan HIV misalnya dapat
dilihat dari fakta difokuskannya
tindakan represi terhadap 640
perempuan penjaja seks komersial/ PSK
pengidap virus HIV , misalnya
dengan diterbitkannya Perda Anti Prostitusi, sedangkan 3,1 juta laki-laki dewasa pengguna jasa seks komersial pengidap Virus
HIV tidak tersentuh. Penjaja Seks
Komersial akan membawa penyakitnya sebagai pilihan hidup yang susah antara mati
karena kemiskinan kelaparan dan mati karena
HIV. Laki-laki membeli HIV untuk
kebahagiaan sesaatnya, dan membagikan penderitaan kepada istrinya yang sholehah dan anaknya
yang tidak tahu menahu dan tidak berdosa.
Perempuan
ketika masa RA KArtini, bukan tidak tahu pentingnya sekolah tetapi tidak mampu
mengatasi dominasi. Ibu rumah tangga
sholehah yang tidak pernah selingkuh dan atau menggunakan narkoba dan tertular
dari suaminya, juga bukan tidak tahu bagaimana rantai penularan terjadi, tetapi
tidak mampu mengatasi dominasi. Bahkan
sebagian perempuan sholeh modern tahu sebelum menikah bahwa pacarnya laki-laki
yang perilakunya beresiko. Ketidak
seimbangan kekuatan bargaining sebagai “lawan” dari emansipasi cukup banyak kasusnya, contoh seperti perempuan muda yang menyerahkan
keperawanannya kepada pacarnya untuk membuktikan cintanya, PSK yg tidak bisa
menolak ketika pelanggannya tidak mau
memakai kondom karena butuh uang.
Dampak
dari ketidak berdayaan perempuan dalam
penularan HIV adalah, terus meningkat pesatnya kasus hiv pada ibu rumah tangga/
IRT. Pada periode Jan-Des 2011, dengan pengelompokan menurut kelompok pekerjaan maka ditemukan
bahwa Ibu rumah tangga menjadi kelompok tertinggi yaitu sebanyak 622 kasus
(34%). Ini hal yang sangat mengerikan bagi emansipasi perempuan. Bahkan ibu
Menteri kesehatan menyatakan bahwa ibu rumah tangga yang tertular HIV dan merupakan korban suami, jumlahnya lebih
banyak dibandingkan PSK.
Hal yang memprihatinkan dari terus
meningkatnya kasus HIV pada ibu rumah tangga meliputi aspek sosial dan aspek
klinis. Dari aspek social pendekatan pemberantasan HIV saat ini, masih fokus
kepada orang-orang yang berperilaku beresiko, sehingga ibu rumah tangga yang
tidak pernah berperilaku beresiko akan lepas dari perhatian. Sebagai istri
perempuan harus melayani suami dengan penuh kepercayaan, kesetiaan, tidak
pernah menanyakan bagaimana perilaku suaminya diluar. Ketika tahu suaminya berperilaku beresikopun
sang istri tidak mampu mengajak suaminya memeriksakan ke VCT (klinik HIV),
apalagi menolak melayani karena tidak memakai kondom. Tampak jelas disini bahwa
masih terjadi ketimpangan gender atau dominasi laki-laki masih mengalahkan
emansipasi sampai tingkat terkecil yaitu rumah tangga. Dampaknya si ibu membiarkan dirinya tertular
HIV, dan yang lebih parah membiarkan anaknya terlahir dengan HIV. Data
menunjukkan bahwa , sampai dengan Juni 2012 ada 775 kasus
AIDS pada balita yang tidak berdosa.
Aspek klinis yang membedakan HIV pada
perempuan dan laki-laki memang tidak perlu diperbesar tetapi faktanya memang
ada. Secara sosiologis perempuan yang
tertular HIV dari suaminya, selain harus memelihara dirinya juga harus merawat
pasangannya yang nota bene “sumber” penderitaannya dan merawat anaknya yang
sama-sama sebagai korban. Secara klinis, pada tahun pertama setelah
infeksi, viral load pada perempuan lebih rendah dari pada
laki-laki. Kandidiasis dan herpes simpleks juga lebih sering pada perempuan
dari pada laki-laki. Ingat bahwa secara fisiologis bentuk
alat kelamin perempuan yang berlekuk-lekuk
lebih memungkinkan menyimpan microorganisme dari pada laki-laki.
Bagaimana
mengatasi semua? Emansipasi. Kalo RA.
Kartini mendobrak marginalisasi perempuan dalam pendidikan, dan ketimpangan
gender dalam karier, maka penaggulangan penyebaran HIV juga bisa dengan
Emansipasi. katakanlah bahwa
dengan emasipasi maka kesetaraan
gender dalam bidang pendidikan sudah
tercapai, sehingga pengetahuan perempuan dan laki-laki tentang HIv sudah
setara, sehingga yang diperlukan adalah keberanian mengambil keputusan.
Ditingkat
program pemberantasan HIV, semestinya momentum ini digunakan untuk penyadaran
bahwa stigma mulai harus dihilangkan, karena cukup banyak pengidap HIV yang
merupakan korban dan tidak pernah sama sekali berperilaku beresiko.
Pendekatan
agama dengan tujuan mengurangi keinginan orang berperilaku beresiko(demand reduction) terus dilakukan dengan
intensif karena ini penting.
Pendekatan mengurangi sumber penular (supply reduction) oleh pemerintah dengan pemaksaan (conditioning) dengan penerbitan peraturan
perundang-undangan misalnya: Perda Anti Prostitusi, Perda Anti Narkoba, semestinya
diikuti dengan kegiatan meningkatan pendapatan (income generating) dan pemberantasan kemiskinan (poverty reduction).
Terakhir
pendekatan pemakaian kondom, dan hanya menggunakan satu jarum untuk satu kali
pakai yang merupakan pendekatan klinis
dengan tujuan mengurangi resiko penularan langsung (harm/risk reduction) tidak perlu dinilai sebagai upaya mementahkan/
menentang upaya pendekatan agama (demand
reduction), dan regulasi mengurangi sumber (supply reduction). Sebaik
apapun program demand reduction dan supply reduction pasti ada celah
ketidak sempurnaan, sehingga perlu jaring pengaman dan sweeper dalam bentuk harm/risk
reduction dan selanjutnya kalo tetap
terjadi serahkan terapinya pada para klinisi dengan relief dan recovery.
Ditingkat
individu yang diperlukan adalah eksekusi oleh perempuan penegak emansipasi,
untuk mengajak calon pasangan dengan kalimat manis: “Saya tidak
mempermasalahkan masa lalu kamu, tetapi demi kita, saya dan calon anak kita,
mari kita periksa sebelum menikah”. Bagi
yang sudah menikah juga sama, hanya ditambah keberanian untuk menolak melayani
tanpa kondom sebelum tahu hasilnya negative. Bagi para PSK perlu keberanian
memilih sorga atau neraka , baru kemudian sehat atau uang.
Pilihan
yang berat bagi perempuan, tetapi pasti bisa, karena RA Kartini telah
membuktikannya, dan Perempuan Indonesia adalah pewaris darah pejuang RA
Kartini. Selamat merayakan hari Kartini.